Kemarin pas ngobrol sama counsellor mengenai perspektif diri sendiri.
Yang terjadi adalah perbedaan kultur akademis di negeri sendiri sama di UK. Bisa kelihatan kayaknya di mana ada plus minusnya. Ini juga disupport beberapa waktu itu sama mentor/ sahabat yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri yang di Oxford. Jadi orang British sendiri jago banget untuk masalah analisa dan masalah mengemukakan pendapat dengan supporting ideas yang sistematis. Karena gw lihat mereka dilatih untuk bisa mengemukakan pendapat, apapun itu. Benar atau salah itu relatif, tergantung dari pemikiran mereka.
Hal ini yang gw rasa sangat mempengaruhi dari diri gw sendiri. Di negara gw tercinta, semuanya seakan ada standarisasi yang saklek dan jelas, dari mulai SD sampai kuliah mungkin. standarisasi sudah terlihat jelas, kalau rangkingnya rendah ya bisa dibilang 'kurang'. Padahal pengelompokkan dengan melihat parameter nilai kayaknya kurang sesuai, gak tahu ya dengan kurikulum yang sekarang. Kemarin sempat ngobrol sama counsellor mengenai pendidikan di UK sini yang lebih cenderung mengemukakan pendapat dan analisa yang lebih dalam. Kalau gw rasa di negara asal gw, lebih ke arah memori? sengitung-ngitungnya suatu soal, ngapalin rumus udah mesti wajib. gak tahu kalau gw salah atau bener.
Ini yang sempat bikin gw shock waktu itu, alhamdulillah ada latar belakang pendidikan dan prestasi yang bagus yang jadi pride atau kebanggan gw. Pede gw waktu itu lumayan tinggi lah kalau bisa dibilang. Nah kena jebret kepercayaan diri gw begitu gw merasa gagal dan merasa bodoh di depan panelis waktu sidang pertama dan kayaknya sampai beberapa waktu lalu. Sekarang kayaknya masih ada, tapi sedikit demi sedikit sudah mulai hilang. Perspektif monoton gw yang waktu itu menjadi kayak bumerang buat gw. Gw ngerasa pintar dan tahu dengan bidang yang gw jalani atau riset ini, ternyata padahal gw gak tahu apa-apa, yang ada gw kayak pasang kedok kayak gw yang paling tahu, padahal ya itu gw gak tahu apa-apa. Sok tahu aja gw. hahahaha. itu yang bikin kayaknya gw meng-underestimate sesuatunya di sini. Bahaya sekali. dan cukup ini jadi pelajaran yang berharga buat gw.
Satu hal lain mengenai kompetisi. Kebiasaan kompetisi atau kultur kompetisi di negara asal kayaknya sangat kental ya. Gak cuma kompetisi di akademis, tapi cenderung ke wealthy, apa yang dipakai, apa yang digunakan, apa yang disetir, jadi kayak perlambang bahwa orang itu lebih hebat atau lebih tinggi. Kayaknya dari kecil malah ada pemikiran kayak gitu, barangsiapa punya mainan paling banyak di komplek, orang itu layak disegani. Gak tahu dah kenapa bisa begitu. Sekali lagi* ini mungkin yang gw rasain, beda antara satu dengan yang lain.
Nah dengan berlatar belakang 'kompetitif' itulah jadinya gw terkesan gak mau ngalah atau menerima kekurangan. Ini bahaya juga buat riset gw, karena riset as akademis di sini sudah harus siap menerima kritikan. kritikan itu bukan untuk 'elu' nya tapi untuk 'pekerjaan elu'; Seringkali akhirnya kita sering salah tafsir karena kita mungkin sudah dicap sebagai orang yang smart untuk bisa kuliah sampai jenjang setinggi-tingginya di universitas rangking bagus, atau posisi dan prestasi yang bagus di kantor. Nah begitu sampai sini, semuanya harus dimulai dari nol. Mulai semua dari baru, makanya ada baiknya kalau membahas riset dari sesuatu yang kita gak tahu kali ya? jadi bisa merasa lebih rendah hati atas ketidaktahuan yang ada. Jangan kayak apa yang lakuin, merasa tahu padahal gak tahu, dan sedihnya lagi gw itu gak tahu kalau gw emang benar-benar gak tahu. hehehe. Tapi In sha Allah bisa jadi pelajaran yang berharga bagi gw.
Kembali lagi di kompetisi itu. Saking kompetitifnya gw ini, gw sering membandingkan gw dengan orang lain atau researcher yang lain. Dan itu yang malah gw jadi bikin excuse untuk mengasihani diri sendiri. Which is, sekali lagi, 'kurang' baik. Jadi kayak terjerat di pengecualian yang dibikin sama diri sendiri, padahal mah bisa jauh lebih baik dari itu.
Dan gw juga coba melihat apa yang terjadi di socmed, bini gw sendiri yang cerita, khususnya ini untuk mengkompetisikan anak-anak, ada gambarnya*. Ibu satu dan Ibu dua akan saling membanggakan anak-anaknya sendiri, semuanya dibandingin dan semuanya seakan menjadikan standar setiap bayi atau setiap orang sama. Nah ini dia nie bisa jadi hal yang kurang baik, yang akhirnya potensi asli dari setiap individu bisa gak keliatan, karena orang melihat segala sesuatunya dari satu standar yang sama, apakah rangking di kelas, apakah mahal atau murahnya benda yang dipakai. *ini opini gw ya*. Dan ini beda banget apa yang gw lihat dan rasakan di sini, orang lebih cenderung apa adanya, malah gak keliatan mana yang kaya atau yang enggak. Mereka lebih concern sama apa yang membuat mereka nyaman. Gw lihat profesor gw, tahu lah profesor di sini, pengalaman puluhan tahun, ketua riset center di mana-mana, tapi santai aja pake sepeda dan pake bus. Kasarnya, dia beli mobil bisa lah, secara mobil di sini murah. ya ini untuk transportasi ya*, gw lihat rumahnya juga, sederhana. Jadi menarik juga sie ngikutin filosofi kehidupan orang-orang di sini. Koq gw lihat malah lebih islami akhlak orang-orang non muslim di sini ya? *sekali lagi it is my humble opinion*.