Selama ini gw juga dibimbing oleh counsellor dari kampus. Cukup membantu lho menurut gw, karena dia bisa bantu kita untuk bisa melihat sebuah masalah gak dari satu corong aja, dia membantu kita melihat ke perspektif yang lain. Untuk orang kayak gw, keberadaaan counsellor ini sangat membantu sekali. Ada kalanya anxiousity, stress ataupun bingung untuk bisa menyelesaikan satu masalah. Saking pengennya masalah ini selesai, yang ada malah gw gak bisa ngapa-ngapain. Kayak bebannya banyak banget.
Padahal kalau fokus doang ke hal itu, malah gak bisa ke mana-mana, bakalan stuck. Contohnya gini, ini contoh didapat waktu lihat videonya James Hayton mengenai PhD, kalau orang meniti di sebuah jembatan yang gak dijanjikan apa-apa, misal jembatannya memang cukup sulit untuk disebrangi dengan lebar yang cukup untuk satu kaki. Nah dicoba untuk melewati jembatan ini tanpa embel-embel atau imbalan apa-apa, yang ada jembatan terlewati dengan gampangnya. Beda ketika si penyebrang dikasih embel-embel bakal dikasih uang satu milyar misalnya. ada beban tambahan di situ yang bisa menganggu target awal dia untuk menyebrang. padahal dia punya kemampuan untuk menyebrang tadi, tapi nyatanya dia gak bisa menyebrang dengan baik jadinya.
Jadi, itu yang gw coba rasakan. Sedikit-demi sedikit baik counsellor, ataupun supervisor sangat supportive untuk membantu gw untuk mencapai tujuan gw. Sampai akhirnya gw berani bilang, kalau gw menemukan beberapa kekurangan gw. Ibarat PhD tingkat pertama itu menemukan masalahnya.
Memang program di sini untuk lebih menentukan problem sendiri untuk dijadikan atau diangkat ke sebuah research. Nah di awal aja gw bingung masih. Gw kira yang ada di industri tapi gak ada di teori bisa dijadikan sebuah PhD. Nah ternyata itu gak bisa, PhD harus menemukan sesuatu yang baru, both in the industry while knowing the contribution to knowledge. Lama sekali gw berkutat di sini. Parahnya lagi karena gw dari industri gw merasa paling tahu (untuk saat ini bisa juga benar sie), jadi gw merasa gw banyak punya amunisi untuk bisa buat apa yang gw tahu jadi PhD, tapi nyatanya itu saja gak cukup. Karena di sinilah peran supervisor, sebagai anggota perwakilan dari komunitas akademis sedunia ini (serius!) yang memastikan kalau apa yang kita lakukan cukup 'besar' dan 'wah' untuk dijadikan landasan PhD.
Kesalahan kedua gw, gw lebih cenderung untuk lari dari PhD, jadi fokus gw pun terpecah-pecah. Kadang di rumah mikirin PhD, di kantor malah mikirin rumah. Capeknya pikiran ini luar biasa. Yang ada kayak orang gak ada mau, kayak hidup segan matipun enggan. Yah, itu gw anggap sebuah proses yang harus gw jalanin untuk jadi seorang PhD. instead untuk mendapatkan sebuah gelar PhD, banyak banget pelajaran yang sangat berguna sekali untuk hidup gw di masa depan. PhD atau gak, in shaa Allah gw bisa dapet banyak.
Ada hal menarik yang selama ini bikin gw ketawa. Karena gw merasa lebih tahu, yang ada gw menyembunyikan semua yang gw tahu, biar gak gw keluarin dulu semua ke depan supervisor. Biar keliatan pinter aja maksudnya, tapi ternyata ini salah besar. Supervisor justru harus tahu seberapa jauh tahunya mahasiswanya mengenai topik yang dijalani, jangan sampai tahu di tengah jalan. Kadang ya terjadi ekspektasi supervisor sangat tinggi terhadap gw yang menurut gw 'berpengalaman'. Sikap sombong ini harus di jauhi menurut gw. Makanya ada baiknya juga kali ya, kalau topik riset yang sama sekali gak dimengerti sebelumnya, kayak dipecut pengen tahu gak sie jadinya? Kalau gw karena waktu itu tipe orang cepet puas, yang ada gw males nyari-nyari lagi, karena gw merasa tahu, which is bad.
Sekarang gw coba melihat sesuatu dari perspektif kalau supervisor itu kayak rekan kita, positioningnya. Awalnya gw tipe 'yes' man, tapi koq lama-lama ya gw jadi tahu kalau supervisor itu ada keterbatasannya juga. Jadi supervisor pun manusia, bisa ada kurangnya, dan malah enak menurut gw untuk diskusi lebih lanjut. Tapi memang gw akui supervisor itu punya jalan pikiran yang cepat, ke sana kemari, menyimpulkan dan mengambil ekstrak dari sebuah masalah. Gokil lah, gw pengen banget punya skill itu. Percaya gak kalau supervisor gw cuman liat beberapa kalimat aja dari suatu article, dia tahu jalan pikiran penulis. Itu gw dah diajarin, dan terus gw praktis. Bismillah semoga bisa cepat.
Satu lagi, PhD murni dari teori, jadi jangan ngira kalau udah beres tahun pertama gak bakal nyari-nyari lagi literature. itu yang selama ini gw sangka. Justru sumber lain, metoda, parameter, ataupun diskusi bisa based on other papers' work. Di situ knowledge kita broaden. Karena, kata supervisor gw, walaupu kontribusi kecil tapi bisa menempatkan, bisa jadi sebuah kontribusi yang bagus sekali. Tapi sebaliknya, kalau kontribusi besar (banyak dikerjakan) tapi gak tahu gimana penempatannya, jadi ya kayak kecil aja.
jadi Bismillah... lebih positif!!