Tuesday, September 22, 2015

Enhancing Confidence Level

Beberapa waktu lalu sempat mengobrol sama senior yang dulu menyelesaikan PhD nya di UCL. Saya master, beliau masuk PhD. Saya sharing dan curhat sama dia mengenai permasalahan yang saya alami.

Dia sempat bilang kalau PhD harus dibawa santai (maksudnya balance) kali ya. Jadi jangan dianggap sebuah beban, dan semua pikiran, fokus dan tenaga buat PhD. Sampai dia  cerita kalau ada temen PhD nya yang malah sambil PhD bisa belajar bahasa lain.

Hmm, ini menarik. Apa maksudnya? sampai saya cari benang merah antara learning curve, confidence level dan PhD. Jadi kalau dirumuskan begini kurang lebihnya:

Suatu saat di masa sedang menjalani PhD, akan merasakan jenuh. Saya merasakan bosan dan jenuh, karena saya belum merasa 'menemukan' sesuatu yang cukup membahagiakan kedua pembimbing saya. Sampai mereka harus 'intervensi' saya. Saya orang perfeksionis, yang merasa kurang terus dalam segala hal. Jadi saya gak pernah puas dengan apa yang saya capai. Pencapaian saya sampai tahun kedua malah saya anggap sebuah 'keberuntungan' dibanding 'kemampuan'. Hal inilah yang membuat saya sempat minder, bingung, menutup diri, dan merasa gak mampu.

Sampai saya mengerti apa kata supervisor saya (blog sebelumnya) mengenai PhD itu tidak harus pintar. Saya salah menerjemahkannya, saya malah menganggap kalau supervisor saya menganggap saya 'kurang pintar'. Ternyata maksud beliau: PhD adalah sebuah proses learning curve untuk meng-gain research skill. This is the basic skill to become a researcher. Skill untuk membentuk cara berpikir peneliti. Mindset inilah yang harus terbentuk di program PhD.

Lalu saya hubungkan dengan life balance mahasiswa PhD. Saat mengalami kebosanan, kebuntuan atau perasaan negatif itu datang. Ditambah pula ketika kita menganggap PhD adalah segalanya (atau mungkin satu2nya hidup yang kita punya). Contoh yang dirasakan adalah ketika mengalami kebuntuan saat melakukan penelitian seperti: coding yang gak berhasil, paper gak ada yang pas, gak tahu tujuan thesis mau ke mana, dll. Alhasil pikiran jadi stress, bingung aka gak tahu mau ngapain, kayak blank gitu aja. Padahal PhD itu kan proses, dan jalan pasti ada. Itulah gunanya ada pembimbing kan?

Saya baru sadar itu. Selama ini saya menganggap kalau diri saya ini bermasalah, dan saya gak punya kemampuan untuk PhD. Kasarnya adalah saya gak yakin bisa PhD.

Sampai ingat kata senior saya itu, ada temennya belajar bahasa lain waktu PhD. Nah ini bisa jadi sebuah solusi saya pikir. Saya mencoba beberapa hal baru, seperti mencoba belajar main gitar akustik (youtube jadi guru saya) dan belajar bahasa Korea. Dua hal baru ini cukup bisa membantu saya meningkatkan kepercayaan diri saya. Dengan belajar gitar akustik dari sama sekali gak bisa dengan bantuan youtube dan gitar pemberian teman. Saya terpacu dan semangat lagi untuk bisa belajar gitar supaya bisa ngeband sama teman-teman. Hasilnya baru saya rasakan seminggu kemudian. Saya belajar satu lagu dengan petikan dan alhamdulillah mulai bis dan sekarang masih proses memperlancar.

Kemudian, sebulan ini saya buat program pertukaran bahasa sama teman saya dari Korea. Setelah beberapa minggu saya mulai bisa membaca dan menulis hangeul (tulisan korea) dan bisa memulai percakapan dalam bahasa Korea. Alhamdulillah.

Intinya yang saya lihat adalah  perlunya berusaha dan bekerja keras. Saya lihat kembali diri saya, kalau saya ini ternyata masih punya kemampuan untuk belajar dan berusaha. Saya punya semangat masih, dan punya jiwa untuk mau terus maju. Ini yang mengingatkan saya kalau saya pun masih ada waktu untuk memperbaiki kualitas penelitian saya. PhD gak harus pintar, tapi harus dikerjakan dan dicapai dengan usaha dan kerja. Malah sebelumnya saya merasa sudah kalah perang duluan, saya bingung mau kerjain apa, saya kerjain ini salah, kerjain itu salah. Gak pernah ada benernya. Malah saya malas untuk memulai dan memperbaiki hal yang menurut saya belum sempurna. Kebosanan pun akhirnya sebanding dengan derajat kemalasan, malah mungkin exponential dengan kebosanan. Dua nilai bosan bisa menghasilkan angka delapan kemalasan. Which is not good.

Dari sinilah saya harap saya bisa mendapatkan semangat lagi, kepercayaan diri lagi untuk bisa lulus PhD tepat waktu, which is on target 28 November 2015, hari Senin, di ruang Hancock, building 62. In shaa Allah aamiiinn.
Share: