Sunday, November 29, 2015

Personal Target

Kembali lagi ke pembahasan mengenai riset PhD.

Alhamdulillah gw tahu dan sadar kesalahan gw. Mungkin sadarnya bertahap demi bertahap karena proses ya. Gw kembali menyambungkan apa yang gw mengerti sama apa yang pembimbing gw pernah katakan. ya, alhamdulillah gw merasa memiliki memori yang kuat, memori akan momen-momen dan termasuk ketika bimbingan juga.

Gw sekarang tahu kalau memang 'jalan cerita' (ini istilah dari pembimbing gw) atau background dari riset gw masih kurang. Memang, karakter dari setiap riset memang akan berbeda. Di sini gw masih menambal sulam hal-hal seperti latar belakang, alasan kenapa, dan bagaimana. Itu semua yang sekarang lagi gw kerjain.

Bener atau gak nya? ya tergantung dari pendapat dan keyakinan pribadi gw. Karena riset itu begitu, yang dinilai adalah rasionalisasi dari pilihan dan justifikasi logis dari pikiran kita sendiri. Alhasil nanti kalau setelah PhD, logikasisasi dari pikiran kita bisa bertumbuh dan semua tindakan, keputusan dan cara berpikir kita akan lebih sistematis dan terpola dengan baik. Wallahu alam, itu menurut pendapat gw.

Sampai akhirnya alhamdulillah gw menemukan 'lubang besar' di pondasi gw ini. untuk menyambungkan semuanya menjadi sebuah benang merah itu yang gw rasa butuh waktu. Dan memang bagi riset gw, gw butuh waktu yang lebih banyak. Jadi gw mohon doanya dan dukungannya. Semoga gw bisa menghubungkan beberapa titik-titik ini menjadi kontribusi ke benang merah yang solid. Amiin

Jadi inget kata Atun, 'connecting the dots' :)
Share:

Kultur Kompetitif - Sebuah bentuk kebutuhan untuk dihormati?

Kita berdua barusan aja ngobrol sambil lucu-lucuan, ketawa sama sikap aneh-aneh dari temen-temen kita.

Ada hal yang menarik mengenai kompetitif. Sudah pernah gw bahas mengenai kultur kompetitif yang sudah terbentuk sejak kecil di Indonesia. Dimulai dari umur 5-6, pertama kali kita sudah masuk SD, sudah masuk ke sebuah dunia penuh kompetisi.

Kompetisi ini ada bagus dan buruknya, semua wajar. yang gw sayangkan adalah kompetisi ini cenderung menjadi kompetisi di satu parameter, sebagai contoh kalau di sekolah ya rangking, atau pas kuliah IP. Tapi memang belum ada parameter baku yang baik untuk bisa menilai performansi seseorang di pendidikan, ya cuman satu parameter itu saja. Baik atau buruknya, wallahu alam, karena gw juga salah satu yang mengalami hal itu. Rangking juga gak bagus-bagus amat, IP juga pas-pasan juga. Bukan ini pembelaan, tapi memang waktu itu gw belum tahu pentingnya parameter ini.

Hal ini juga yang bikin gw penasaran dan ada keinginan untuk nyekolahin anak gw di negara-negara yang diranking sistem pendidikan ada di lima besar, antara New Zealand atau Finland. Semoga bisa pindah ke salah satu negara itu, tujuannya untuk perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Arka. In shaa Allah, aaamiin.

Yang sekarang menjadi bahan candaan istri dan gw, mungkin gw juga pernah mengalami ya; yaitu kompetisi di semua bidang kehidupan. Di kehidupan bertetangga, bekerja atau berteman, kompetisi ini gak bisa dielakkan. Mungkin karena ya budaya kompetisi yang sudah mendarah daging kali ya. Kalau dulu IPK mungkin, sekarang mungkin jabatan? pekerjaan? gaji? biaya hidup? harta?, You name it. Sampai semuanya bisa dikompetisikan dan menjadikan salah satu/dua/tiga/empat hal tersebut jadi parameter 'kebahagiaan' atau 'kehebatan' atau 'kesuksesan'. Mungkin gw sendiri masih berpikir ke arah materi kadangkala. Tapi kalau disadari lagi kayaknya gak pantes juga gw bilang itu sebagai sebuah parameter kebahagiaan atau kesuksesan bagi gw.

Kompetisi itu menurut gw bagus banget, bisa menumbuhkan rasa ingin maju buat diri sendiri. Tapi yang jadi masalah adalah apa perlu kita ngomongin 'kesuksesan' atau 'kehebatan' kita? ya kalau gak gaya hidup, kerjaan atau apapun itu yang sebenernya orang lain gak perlu tahu dan gak ngurusin sebenernya. Kembali lagi gw akui memang gw masih ada berpikir kalau lebih banyak materi itu lebih banyak sukses. Tapi ya itu dijadiin pecut gw untuk berusaha lebih keras sie.

Kalau untuk beberapa parameter mungkin sudah gw capai dalam target gw, ya kadang juga gw pamerin sie kadang-kadang. Mungkin ada rasa bangga atau sedikit menyombongkan diri biar dihormati orang. Apa itu yang dirasakan oleh kita di Indonesia? kurangnya rasa menghormati dan dihormati, makanya akhirnya keluar budaya seperti pamer atau 'gak mau kalah'

Tulisan ini bikin gw menyadari sie, memang orang lain butuh dihormati dan dihargai atas seluruh usaha dan kerja kerasnya. Gw berasumsi, maaf gw cuman bisa berasumsi, kalau memang orang yang cenderung 'tidak mau kalah', adalah orang-orang yang sebenernya kurang dihargai dan dihormati atas dirinya sendiri? entah dari keluarganya, atau dari masa kecilnnya, lingkungan kerja, atau lingkungan tetangganya? wallahualam.

Tapi yang jadi menarik adalah kenapa parameter yang jadi acuan kesuksesan seseorang adalah dari hal materi? apa ini sebuah konspirasi? atau ini pengaruh media yang bikin kita lebih konsumtif? atay gengsi? atau prestise? atau apa? Ini jadi pertanyaan buat gw, dan juga bahan pembelajaran buat gw.

Hormat dan menghormati? dan rasa rendah hati yang memang mungkin akhirnya mulai terkikis? gw sendiri gak bisa jawab, yang ada gw cuman beristigfar dalam hati, minta petunjuk, dan live my life as best as i could. Enjoy every moment, dan bersyukur atas semua yang terjadi sama diri gw. Ambil positifnya :)

In shaa Allah
Share:

Monday, November 23, 2015

Cambridge Itenary

Jadi Sabtu dua hari lalu kita ikut program CSA untuk trip ke Cambridge.

Trip ke Cambridge ini cukup murah untuk pp seorang hanya bayar £10 dan enaknya adalah gak perlu ribet untuk ganti bus dan waktu yang lebih efisien, karena rutenya bener-bener cuman dari Cranfield-Cambridge-Cranfield. sekali jalan cuman 45 menit kurang lebih. Dibanding pake bus umum, belum berhenti, menunggu dan lain-lain bisa sampai 1-1,5 jam sendiri.

Jadi kemarin mencoba membuat itenary untuk satu keluarga. Melihat Arka masih kecil, keterbatasan waktu dan juga biaya membuat kita bikin itenary duluan. Kalau melihat kemarin ada beberapa perubahan rencana dari itenary yang kita rancang, tapi gak jauh beda, cukup menyesuaikan dengan waktu dan tempat yang hanya bisa kelihatan waktu di lapangan. Internet cukup memadai, bisa memprediksi lamanya jalan, daftar menu restoran, maps, dll, Hal-hal lain yang sifatnya fleksibel bisa diputuskan ketika hari H sebenarnya.

Berikut dilampirkan itenary kemarin. Biaya, harga makan, dan lain-lain disesuaikan dengan budget trip kita sebenarnya. dan ternyata lebih murah daripada yang kita alokasikan kalau waktu kurang lebih bisa sesuai dengan mengubah rencana, Botanic garden dan Grand Arcade kita putuskan untuk dikunjungi lain kali saja :)


Share:

Self Arrangement

Kayaknya memang perlu dibuat journal harian seperti ini.

Jadi bisa menceritakan apa yang telah dilakukan dan apa yang akan direncanakan. Jadi seperti kayak meningkatkan self awareness di mana kita bisa melihat apa yang sudah dilakukan dan apa yang seharusnya diselesaikan hari ini dan bisa dijadikan bahan untuk dikerjakan besok.

Sama satu lagi dulu waktu master bikin blog itu untuk curhat sebenernya. Kalau ini kayaknya sudah bisa dikesampingkan karena sudah ada istri. Jadi bisa cerita apa saja dan curhat saja ke istri di rumah, ngobrol dan lain sebagainya. Tapi ya mungkin ada hal yang enaknya ditulis sekalian latihan untuk menulis thesis atau paper.
Share:

Monday, November 02, 2015

Keep Journalised Every Piece of Effort

Mencoba untuk merenungkan setiap hari apa hal positif yang bisa didapat.

Satu yang berasa adalah dapat feedback berharga dari supervisor. Menulis abstrak untuk paper, rasanya kayak gak beres-beres. Tapi ya itu lah kesempurnaan, tidak akan bisa dicapai, sampai kita sendiri yang puas sampai mana level kesempurnaan itu.

Ini yang ambigu sebetulnya, kadang cepat puas itu gak bagus, kadang puas itu bagus. Atau kata lainnya adalah mensyukuri segala apapun yang kita capai, ya terima aja, ikhlas. Itu jadi excuse kadang bagi kita untuk gak berbuat lebih. Padahal kalau inget Aa Gym waktu di Kick Andy, waktu itu beliau dijemput mobil yang gak pakai sabuk pengaman. Dan apa yang Aa Gym lakukan? dia pakai itu surban sebagai sabuk pengamannya. Ditanya sama supir, kalau mati hidup sudah diatur sama Allah. Beliau menjawab, iya betul hidup dan mati itu memang datangnya dari Allah SWT. Saya cuman mau memaksimalkan ikhtiar sehingga kalau nanti ditanya, apakah sudah memaksimalkan ikhtiar saya bisa dengan tenang menjawab sudah.

Butuh proses untuk menuju seperti ini, kadang usaha kita menggunakan prinsip motif ekonomi kali ya? usaha sekecil-kecilnya untung sebesar-besarnya. Padahal gak keliatan kalau sebuah kesuksesan itu seperti sebuah gunung es, kelihatan cuman bagian kecilnya, padahal di bawahnya banyak sekali yang harus dihadapi. Kayak gambar dari 9gag.com ini


sumber: www.9gag.com

Jadi masih mau santai? kayaknya saya malah bakalan kerja lebih keras lagi. Terus maju pantang menyerah. Bismillah :)
Share: