Kita berdua barusan aja ngobrol sambil lucu-lucuan, ketawa sama sikap aneh-aneh dari temen-temen kita.
Ada hal yang menarik mengenai kompetitif. Sudah pernah gw bahas mengenai kultur kompetitif yang sudah terbentuk sejak kecil di Indonesia. Dimulai dari umur 5-6, pertama kali kita sudah masuk SD, sudah masuk ke sebuah dunia penuh kompetisi.
Kompetisi ini ada bagus dan buruknya, semua wajar. yang gw sayangkan adalah kompetisi ini cenderung menjadi kompetisi di satu parameter, sebagai contoh kalau di sekolah ya rangking, atau pas kuliah IP. Tapi memang belum ada parameter baku yang baik untuk bisa menilai performansi seseorang di pendidikan, ya cuman satu parameter itu saja. Baik atau buruknya, wallahu alam, karena gw juga salah satu yang mengalami hal itu. Rangking juga gak bagus-bagus amat, IP juga pas-pasan juga. Bukan ini pembelaan, tapi memang waktu itu gw belum tahu pentingnya parameter ini.
Hal ini juga yang bikin gw penasaran dan ada keinginan untuk nyekolahin anak gw di negara-negara yang diranking sistem pendidikan ada di lima besar, antara New Zealand atau Finland. Semoga bisa pindah ke salah satu negara itu, tujuannya untuk perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Arka. In shaa Allah, aaamiin.
Yang sekarang menjadi bahan candaan istri dan gw, mungkin gw juga pernah mengalami ya; yaitu kompetisi di semua bidang kehidupan. Di kehidupan bertetangga, bekerja atau berteman, kompetisi ini gak bisa dielakkan. Mungkin karena ya budaya kompetisi yang sudah mendarah daging kali ya. Kalau dulu IPK mungkin, sekarang mungkin jabatan? pekerjaan? gaji? biaya hidup? harta?, You name it. Sampai semuanya bisa dikompetisikan dan menjadikan salah satu/dua/tiga/empat hal tersebut jadi parameter 'kebahagiaan' atau 'kehebatan' atau 'kesuksesan'. Mungkin gw sendiri masih berpikir ke arah materi kadangkala. Tapi kalau disadari lagi kayaknya gak pantes juga gw bilang itu sebagai sebuah parameter kebahagiaan atau kesuksesan bagi gw.
Kompetisi itu menurut gw bagus banget, bisa menumbuhkan rasa ingin maju buat diri sendiri. Tapi yang jadi masalah adalah apa perlu kita ngomongin 'kesuksesan' atau 'kehebatan' kita? ya kalau gak gaya hidup, kerjaan atau apapun itu yang sebenernya orang lain gak perlu tahu dan gak ngurusin sebenernya. Kembali lagi gw akui memang gw masih ada berpikir kalau lebih banyak materi itu lebih banyak sukses. Tapi ya itu dijadiin pecut gw untuk berusaha lebih keras sie.
Kalau untuk beberapa parameter mungkin sudah gw capai dalam target gw, ya kadang juga gw pamerin sie kadang-kadang. Mungkin ada rasa bangga atau sedikit menyombongkan diri biar dihormati orang. Apa itu yang dirasakan oleh kita di Indonesia? kurangnya rasa menghormati dan dihormati, makanya akhirnya keluar budaya seperti pamer atau 'gak mau kalah'
Tulisan ini bikin gw menyadari sie, memang orang lain butuh dihormati dan dihargai atas seluruh usaha dan kerja kerasnya. Gw berasumsi, maaf gw cuman bisa berasumsi, kalau memang orang yang cenderung 'tidak mau kalah', adalah orang-orang yang sebenernya kurang dihargai dan dihormati atas dirinya sendiri? entah dari keluarganya, atau dari masa kecilnnya, lingkungan kerja, atau lingkungan tetangganya? wallahualam.
Tapi yang jadi menarik adalah kenapa parameter yang jadi acuan kesuksesan seseorang adalah dari hal materi? apa ini sebuah konspirasi? atau ini pengaruh media yang bikin kita lebih konsumtif? atay gengsi? atau prestise? atau apa? Ini jadi pertanyaan buat gw, dan juga bahan pembelajaran buat gw.
Hormat dan menghormati? dan rasa rendah hati yang memang mungkin akhirnya mulai terkikis? gw sendiri gak bisa jawab, yang ada gw cuman beristigfar dalam hati, minta petunjuk, dan live my life as best as i could. Enjoy every moment, dan bersyukur atas semua yang terjadi sama diri gw. Ambil positifnya :)
In shaa Allah